UNANKU
PAHLAWANKU
Sunanku
:
Sunan Kudus
SUNAN KUDUS
Sunan Kudus dilahirkan
dengan nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Dia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung (Sayyid Utsman
Haji) dengan
Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang. Lahir pada 9
September 1400M/ 808 Hijriah. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung adalah putra
Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden
Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di
Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang.
Jati Diri Sunan Kudus
Nama Ja'far Shadiq diambil dari nama datuknya yang
bernama Ja'far
ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang
beristerikan Fatimah
az-Zahra binti Muhammad.
Sunan Kudus sejatinya bukanlah asli penduduk Kudus, ia
berasal dan lahir di Al-Quds negara Palestina. Kemudian bersama kakek, ayah dan
kerabatnya berhijrah ke Tanah Jawa.
Nasab Sunan
Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman
Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran
binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24
dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin
Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin
Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib
Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin
Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin
Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah
Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Sunan Kudus Dalam Babad Tanah Jawi
Babad Tanah Jawi (selanjutnya disebut BTJ) adalah
terjemahan dari Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam
Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di Leiden, Belanda, pada
tahun 1941. Seperti pada pengertian babad pada umumnya, di sini terdapat cerita-cerita
tentang pendirian sebuah negara (kerajaan) dan peristiwa-peristiwa yang terjadi
di seputar kerajaan tersebut.
“…Orang di tanah Jawa taat serta menganut agama Islam.
Mereka bermusyawarah akan mendirikan masjid di Demak. Para wali saling berbagi
tugas, semua sudah siap sedia. Hanya Sunan Kali Jaga yang masih ketinggalan,
bagian garapannya belum berbentuk, sebab sedang tirakat di Pamantingan.
Sekembalinya ke Demak, masjid sudah akan didirikan. Sunan Kali Jaga segera
mengumpulkan sisa-sisa kayu bekas sudah menjadi tiang.Pagi harinya tanggal 1
bulan Dulkangidah masjid didirikan dengan sengkalan tahun 1428. Kiblat di
masjid searah dengan ka’bah di Mekkah. Penghulunya Sunan Kudus. Setelah
beberapa Jumat berdirinya masjid tadi, ketika para wali sedang berdzikir
bersama di masjid itu, Sunan Kudus duduk khusuk bertafakur di bawah beduk,
tiba-tiba ada bungkusan jatuh dari atas-buku kulit kambing, di dalamnya ada
sajadah serta selendang Kanjeng Rasul.”
“Pada waktu itu banyak orang Jawa yang belajar agama Islam,
kedigdayaan, dan kekuatan badan. Ada dua orang guru yang terkenal, yaitu Sunan
Kali Jaga dan Sunan Kudus. Sunan Kudus itu muridnya tiga orang, yaitu Arya
Penansang di Jipang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang. Yang paling disayang
adalah Arya Penansang.
Waktu itu Sunan Kudus sedang duduk-duduk di rumahnya
dengan Pangeran Arya Penansang, Sunan Kudus berkata kepada Arya Penansang,
“Orang membunuh sesama guru itu, hukumnya apa?” Perlahan jawab Arya Penangsang,
“Hukumnya harus dibunuh, tetapi saya belum tahu siapa yang berbuat demikian
itu.” Sunan Kudus berkata,”Kakakmu di Prawata.” Arya Penansang setelah
mendengar perintah Sunan Kudus, bersedia membunuh Sunan Prawata. Ia lalu
mengutus abdi pengawalnya bernama Rangkud dan diperintah untuk membunuh Sunan
Prawata. Rangkud lalu berangkat. Sesampai di Prawata ketemu dengan Sunan
Prawata yang sedang sakit dan bersandar pada istrinya. Setelah melihat Rangkud
Sunan Prawata bertanya, “Kamu itu orang siapa?” Rangkud menjawab, “Saya adalah
utusan Arya Penansang, memerintahkan untuk membunuhmu.” Sunan Prawata berkata,
“Ya, terserah, tetapi saya sendiri sajalah yang engkau bunuh, jangan
mengikutkan orang lain.” Rangud lalu menusuk sekuat-kuatnya. Dada Sunan Prawata
tembus sampai ke punggungnya serta menembus dada istrinya. Sunan Prawata
setelah melihat istrinya terluka, segera mencabut kerisnya yang bernama Kyai
Betok, lalu dilemparkan ke Rangkud. Si Rangkud tergores oleh kembang kacang
(hiasan pada pangkal keris), ia jatuh di tanah lalu tewas. Sunan Prawata dan
isterinya juga meninggal dunia. Meninggalnya ber-sinengkalan tahun 1453. Arya
Penangsang begitu tega membunuh Sunan Prawata sebab ayahnya juga dibunuh oleh
Sunan Prawata, saat pulang dari sholat Jum'at. Ia dicegat di tengah jalan oleh
utusan Sunan Prawata bernama Sura Yata. Ki Sura Yata tadi juga sudah dibunuh
oleh teman ayahnya Arya Jipang.
Sunan Prawata tadi mempunyai saudara perempuan namanya
Ratu Kali Nyamat. Dia begitu tidak terima atas kematian saudara laki-lakinya
itu. Lalu berangkat ke Kudus bersama suaminya berniat minta keadilan kepada
Sunan Kudus. Lalu jawab Sunan Kudus, “Kakakmu itu sudah hutang pati pada Arya
Penangsang. Sekarang tinggal membayar hutang itu saja.” Ratu Kali Nyamat
mendengar jawaban Sunan Kudus itu sangat sakit hatinya. Lalu kembali pulang. Di
tengah jalan dibegal utusannya Arya Penansang. Laki-lakinya dibunuh. Ratu Kali
Nyamat sangat terpukul hatinya. Sebab baru saja kehilangan saudaranya, lalu
kehilangan suaminya. Ia jadi sangat menderita. Lalu bertapa telanjang di Bukit
Dana Raja. Sebagai ganti kain untuk menutup auratnya adalah rambutnya yang
diurai. Ratu Kalinyamat berprasetia tidak mau memakai kain selama hidup jika
Arya Penansang belum meninggal. Ia bernadar barangsiapa dapat membunuh Arya
Jipang, dia akan mengabdi kepadanya dan akan menyerahkan seluruh kekayaannya.
Pada suatu ketika Sunan Kudus sedang berbincang-bincang
dengan Arya Penangsang, Sunan Kudus berkata, “Kakakmu Sunan Prawata dan Kali
Nyamat sekarang sudah mati, tapi belum lega rasanya kalau belum menguasai tanah
Jawa semua. Jika masih ada adikmu Sultan Pajang saya kira tidak mungkin bisa
jadi raja, sebab dia adalah penghalang.” Arya Penansang berkata, “Jika
diperkenankan atas izin Sunan Kudus, Pajang akan saya gempur dengan perang,
adik saya di Pajang akan saya bunuh supaya tidak ada penghalang.” Sunan Kudus
menjawab, “Maksudmu itu saya kurang setuju sebab akan merusak negara serta
banyak korban. Adapun maksud saya, kakakmu di Pajang bisa mati, secara
diam-diam saja, jangan diketahui banyak orang.” Arya Penangsang menjawab sangat
setuju. Lalu mengutus abdi pengawal untuk menculik dan membunuh Sultan Pajang.
Utusan segera berangkat. Datang di Pajang tengah malam, lalu masuk ke dalam
istana. Sultan Pajang sedang tidur berselimut kain kampuh, jarik/kain sarung.
Para istrinya tidur di bawah. Utusan menerjang dan menusuk dengan sekuat
tenaga. Sultan Pajang tidak mempan (kebal), masih enak tidur saja. Kain yang
digunakan untuk berselimut itu pun tidak tertembus. Para isrti terkejut,
bangun, menangis, dan menjerit. Sultan Pajang terkejut juga dan bangun. Kain
selimut terlempar menerpa para utusan itu, mereka terjatuh terkapar di tanah,
tiak ada yang dapat pergi….”
Asal-Usul Nama Kota Kudus
Dahulu kota Kudus masih bernama Tajug. Kata warga
setempat, awalnya ada Kyai Telingsing yang mengembangkan kota ini. Telingsing
sendiri adalah panggilan sederhana kepada The Ling Sing, seorang Muslim Cina
asal Yunnan, Tiongkok. Ia sudah ada sejak abad ke-15 Masehi dan menjadi cikal
bakal Tionghoa muslim di Kudus. Kyai Telingsing seorang ahli seni lukis dari
Dinasti Sung yang terkenal dengan motif lukisan Dinasti Sung, juga sebagai
pedagang dan mubaligh Islam terkemuka. Setelah datang ke Kudus untuk
menyebarkan Islam, didirikannya sebuah masjid dan pesantren di kampung Nganguk.
Raden Undung yang kemudian bernama Ja’far Thalib atau lebih dikenal dengan nama
Sunan Kudus adalah salah satu santrinya yang ditunjuk sebagai penggantinya
kelak.
Kota ini sudah ada perkembangan tersendiri sebelum
kedatangan Ja’far Shodiq. Beberapa kiah tutur percaya bahwa Ja’far itu seorang
penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Awal kehidupan Sunan Kudus di
Kudus adalah dengan berada di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil.
Penafsiran lainnya itu memperkirakan bahwa kelompok kecilnya itu adalah para
santrinya sendiri yang dibawa dari Demak sana, sekaligus juga tentara yang siap
memerangi Majapahit. Versi lainnya mereka itu adalah warga setempat yang
dipekerjakannya untuk menggarap tanah ladang. Berarti ada kemungkinan juga
Ja’far memenuhi kebutuhan hidupnya di Kudus dimulai dengan menggarap ladang.
Fakta Mengenai
Sunan Kudus
Sunan Kudus berhasil menampakkan warisan budaya dan tanda
dakwah islamiyahnya yang dikenal dengan pendekatan kultural yang begitu kuat.
Hal ini sangat nampak jelas pada Menara Kudus yang merupakan hasil akulturasi
budaya antara Hindu-China-Islam yang sering dikatakan sebagai representasi
menara multikultural. Aspek material dari Menara Kudus yang membawa kepada
pemaknaan tertentu melahirkan ideologi pencitraan tehadap Sunan Kudus. Oleh Roland
Barthes disebut dengan mitos (myth), yang merupakan system komunikasi yang
memuat pesan (sebuah bentuk penandaan). Ia tak dibatasi oleh obyek pesannya,
tetapi cara penuturan pesannya. Mitos Sunan Kudus selain dapat ditemui pada
peninggalan benda cagar budayanya, juga bisa ditemukan di dalam sejarah,
gambar, legenda, tradisi, ekspresi seni maupun cerita rakyat yang berkembang di
kalangan masyarakat Kudus. Kini ia populer sebagai seorang wali yang toleran,
ahli ilmu, gagah berani, kharismatik, dan seniman.
Satu fakta utama yang dapat masyarakat lihat pada mata
uang kertas Rp. 5.000,00 dengan gambar Menara Kudus. Ini merupakan suatu bentuk
apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia yang dijabat oleh Arifin Siregar pada
masa itu. Berikut petikan sambutannya: “…Kami sewaktu bertugas sebagai Gubernur
Bank Indonesia mendapat kesempatan untuk mengeluarkan uang kertas Lima Ribu
Rupiah dengan gambar Menara Kudus. Hal ini kami lakukan antara lain mengingat
keindahan dan kenggunan Menara Kudus. Disamping itu Menara Kudus merupakan
salah satu peninggalan sejarah Indonesia yang perlu dilestarikan dan
diperkenalkan kepada masyarakat kita dan juga khalayak luar negeri.”
Mengenai hari jadi kota Kudus sendiri (23 September 1549,
berdasarkan Perda No. 11 Tahun 1990 yang diterbitkan tanggal 6 Juli 1990)
memang tak bisa dilepaskan dari patriotisme Sunan Kudus sendiri. Bukti nyatanya
dapat dilihat dalam inskripsi yang terdapat pada Mihrab di Masjid Al-Aqsa Kudus
yang dibangun pada 956 H/1549 M oleh Sunan Kudus. Maka dalam setiap perayaan
hari jadinya tak pernah lupa semangat dan patriotisme Sunan Kudus dalam
memajukan rakyat dan ummatnya.
Menurut Muliadi via Castles (1982); Ismudiyanto dan
Atmadi (1987); dan Suharso (1992), menyebutkan bahwa: “ Dalam sejarah, Kudus
Kulon dikenal sebagai kota lama dengan diwarnai oleh kehidupan keagamaan dan
adat istiadatnya yang kuat dan khas serta merupakan tempat berdirinya Masjid
Menara dan Makam Sunan Kudus; serta merupakan pusat tempat berdirinya
rumah-rumah asli (adat pencu). Sementara Kudus Wetan terletak di sebelah Timur
Sungai Gelis, dan merupakan daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan
daerah pusat perdagangan.”
Salah satu bentuknya ialah tarian Buka Luwur yang
menggambarkan sejarah perjalanan masyarakat Kudus sepeninggal Sunan Kudus
hingga terbentuk satuan wilayah yang disebut Kudus. Tradisi ini telah menjadi
kegiatan rutin pengurus Menara Kudus setiap tanggal 10 Muharram dengan dukungan
umat Islam baik di Kudus maupun sekitarnya. Ini merupakan prosesi pergantian
kelambu pada makam Sunan Kudus diiringi doa-doa dan pembacaan kalimah toyyibah
(tahlil, shalawat, istigfar, dan surat-surat pendek al-quran yang sebelumnya
telah didahului dengan khataman quran secara utuh).
Ada lagi tradisi Dhandangan yang digelar setahun sekali
menjelang bulan Ramadhan. Pada masa Sunan Kudus tradisi ini ditandai dengan
pemukulan bedug di atas Menara Kudus (berbunyi dhang dhang dhang). Tradisi ini
pun memperkuat eksistensi Sunan Kudus. Selain itu masyarakat Kudus hingga saat
ini tak pernah berani menyembelih sapi/lembu sebagai suatu penghormatan kepada
Sunan Kudus yang mana dakwahnya menekankan unsure kebijaksanaan dan toleransi
karena kala itu masyarakat Kudus masih beragama Hindu yang mensucikan hewan
lembu. Kini, setiap Kamis malam makam Kanjeng Sunan Kudus selalu ramai oleh
peziarah dengan beragam latar beragam latar belakang dan etnis, dari berbagai
daerah. Mereka datang dengan beragam cara, baik sendiri maupun bersama
rombongan. Pada momen-momen tertentu ada yang datang dari mancanegara.
Fenomena pencitraan ini berhasil menjadi sumber penggerak
dalam bertindak (untuk beberapa hal), Bourdieu menyebutnya sebagai “tindakan
yang bermakna” baik keberagamaan maupun fenomena budaya lainnya. Citra Sunan
Kudus dalam masyarakat Kudus telah melewati kuasa dan pertarungan sistem tanda
yang merekontruksi budaya lokal mereka. Suatu tandanya dapat dihubungkan dengan
tanda lain yang dapat ditemui dalam model keberagamaan maupun kontruksi budaya
masyarakat agama (Islam). Jadilah mereka memiliki identitas keislaman yang khas
dan unik serta memiliki warisan spirit dan patriotisme yang melegenda. Hal ini
terus digali hingga menjadi model dalam sosial-budaya dan sikap keberagamaan
umat Islam (suatu identitas kultural).
Pendidikan
Sunan Kudus
Kanjeng Sunan Kudus (selanjutnya disingkat KSK) banyak
berguru kepada Sunan Kalijaga dan ia menggunakan gaya berdakwah ala gurunya itu
yang sangat toleran pada budaya setempat serta cara penyampaian yang halus.
Didekatinya masyarakat dengan memakai simbol-simbol Hindu-Budha seperti yang nampak
pada gaya arsitektur Masjid Kudus. Suatu waktu saat KSK ingin menarik simpati
masyarakat untuk mendatangi masjid guna mendengarkan tabligh akbarnya, ia
tambatkan Kebo Gumarang (sapinya) di halaman masjid. Masyarakat yang saat itu
memeluk agama Hindu pun bersimpati, dan semakin bersimpati selepas mendengarkan
ceramah KSK mengenai “sapi betina” atau Al-Baqarah dalam bahasa Al-qurannya.
Teknik lainnya lagi adalah dengan mengubah cerita ketauhidan menjadi berseri,
betujuan menarik rasa penasaran masyarakat.
Dakwah Sunan
Kudus
Beliau adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far
Shodiq. Beliau pula yang menjadi salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai
penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan
masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud dikarenakan Sunan
Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan kebudayaan yang
toleran.
Tak heran, jika hingga sekarang makam beliau yang
berdekatan dengan Menara Kudus selalu ramai diziarahi oleh masyarakat dari
berbagai penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut sebagai bukti bahwa ajaran
toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru semakin relevan ditengah
arus radikalisme dan fundamentalisme beragama yang semakin marak dewasa ini.
Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru
kepada Sunan Kalijaga. Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah
Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap
budaya setempat.
Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan
Kudus terhadap pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para
pengikutnya. Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal
bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu.
Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa
simpatik masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka
kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal lain
dari ajaran yang dibawa oleh beliau.
Lama-kelamaan, bermula dari situ, masyarakat semakin
banyak yang mendatangi masjid sekaligus mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus.
Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus
melawan arus mayoritas dengan menyembelih sapi.
Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus
akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang
berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap
pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika.
Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika
Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam
kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa
dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah
menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan
bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan Pura di Bali.
Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai
tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali datangnya bulan
Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan menara masjid tertua di wilayah
Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.
Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal
yang melampaui zamannya. Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung
nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam
di Indonesia pada umumnya.
Kini, toleransi beragama berada di titik nadir.
Ironisnya, toleransi beragama tak cuma menjadi barang mahal tetapi sudah
terlalu langka. Dengan jalan menghidupkan kembali esensi serta spirit dakwah
Sunan Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa mengembalikan lagi wajah Islam yang
ramah dan toleran setelah sebelumnya dihinggapi oleh stigma negatif.Ajaran
Toleransi Ala Sunan Kudus.
Karya Sunan
Kudus
Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa
Kerjasan, Kota Kudus, yang kini
terkenal dengan nama Masjid
Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid
Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah. Peninggalan lain dari
Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan
kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut
agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan
untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus
hingga saat ini.
Wafatnya Sunan
Kudus
Pada tahun 1550 M Sunan Kudus meninggal dunia saat
menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian
dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.
Keturunan Sunan
Kudus
Di antara keturunan Sunan Kudus yang menjadi Ulama' dan
Tokoh di Indonesia adalah: Syekh Kholil Bangkalan Azmatkhan Ba'alawi
Al-Husaini, Syekh Bahruddin Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, dan Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi
Al-Husaini.
Pahlawanku:
KH.
Abdurrahman Wahid
Abdurrahman
Wahid
Kiai Haji Abdurrahman
Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 – meninggal
di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69
tahun) adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik
yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat
dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah
dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999.
Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa
kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir
pada Sidang Istimewa MPR pada tahun
2001. Tepat 23
Juli 2001,
kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah
mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah
(badan eksekutif) Nahdlatul
Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Kehidupan awal
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di
Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah.
Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang
digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti
ia lahir pada 4 Sya'ban, sama dengan 7 September 1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil.
"Addakhil" berarti "Sang Penakluk". Kata
"Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid",
dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus"
adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati
"abang" atau "mas".
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid
lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur.
Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU),
sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah
pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur,
K.H.
Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah,
adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar
Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai
empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan
Inayah.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia
memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman
Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan
Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa),
pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan
selir Raden Brawijaya
V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti
Perancis, Louis-Charles
Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini
yang diketemukan makamnya di Trowulan.
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat
ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan
dukungan tentara Jepang yang saat itu
menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus
1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang
kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir
perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri
Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke
SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan
koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di
Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama
pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan
mobil.
Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk
ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu
mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk
meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok
Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP,
Wahid pindah ke Magelang untuk memulai
Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai
murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun
(seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren
Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri,
Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya
sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga
dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah
Budaya Jaya.
Pendidikan di
luar negeri
Pada tahun 1963, Wahid
menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar di Universitas
Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke
Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur
diberitahu oleh pihak universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial
sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti
bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas
remedial.
Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun
1964; ia suka menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton pertandingan sepak bola. Wahid juga
terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah
asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya.
Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur
kecewa; ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode
belajar yang digunakan Universitas.
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia.
Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September (G30S)
terjadi. Mayor Jendral Suharto menangani
situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai bagian
dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk
melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan
kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan
menulis laporan.
Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan
metode pendidikan serta
pekerjaannya
setelah G30S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia
harus mengulang belajar. Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui
beasiswa di Universitas
Baghdad. Wahid pindah ke Irak dan menikmati
lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar.
Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga
menulis majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad
tahun 1970, Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya.
Wahid ingin belajar di Universitas
Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Universitas
Baghdad kurang diakui. Dari Belanda, Wahid pergi ke Jerman dan Perancis sebelum
kembali ke Indonesia tahun 1971.
Awal karier
Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan
pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill Kanada. Ia
membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian,Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) organisasi yg terdiri dari kaum
intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang
disebut "Prisma" dan Gusdur menjadi salah satu kontributor utama
majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES,Gusdur juga berkeliling
pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu,pesantren berusaha keras
mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum
pemerintah. Gusdur merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai
tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gusdur juga prihatin
dengan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka
membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah,pemerintah juga membujuk
pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan
ekonomi Indonesia. Gusdur memilih batal belajar luar negeri dan lebih memilih
mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan kariernya sebagai
jurnalis,menulis untuk majalah dan surat kabar Artikelnya diterima dengan baik
dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan
popularitas itu,ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan
seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang,tempat
Gusdur tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu,Gusdur
masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja
untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan
es. Pada tahun 1974 Gusdur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru
di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun
kemudian Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Pada tahun 1977,Gusdur bergabung ke Universitas Hasyim
Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam dan Universitas
ingin agar Gusdur mengajar subyek tambahan seperti syariat Islam dan misiologi.
Namun kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian kalangan
universitas.
Nahdlatul Ulama
Awal keterlibatan
Latar belakang keluarga Wahid segera berarti. Ia akan
diminta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini
berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua
kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun, Wahid
akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri,
memberinya tawaran ketiga. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih
untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di sana. Sebagai anggota Dewan
Penasehat Agama, Wahid memimpin dirinya sebagai reforman NU.
Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman
politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye
untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah
Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU.
Wahid menyebut bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang
seperti dirinya. Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan
dengan orang penting seperti Jendral Benny Moerdani.
Mereformasi NU
Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai
organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat
Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu
reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk
perubahan kepemimpinan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu
dengan Ketua NU Idham
Chalid dan meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah
memandu NU pada era transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya
melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid
mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa
permintaan mundur tidak konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham
membatalkan kemundurannya dan Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat
menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya.
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai
presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan
mulai mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai
Ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Wahid menjadi bagian dari
kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut.
Wahid berkonsultasi dengan bacaan seperti Quran dan Sunnah untuk
pembenaran dan akhirnya, pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus
menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara Untuk lebih menghidupkan kembali NU,
Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan
sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat dengan terlibat
dalam politik.
Terpilih
sebagai ketua dan masa jabatan pertama
Reformasi Wahid membuatnya sangat populer di kalangan NU.
Pada saat Musyawarah Nasional 1984, banyak orang yang mulai menyatakan
keinginan mereka untuk menominasikan Wahid sebagai ketua baru NU. Wahid
menerima nominasi ini dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih
para pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Wahid terpilih sebagai Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut. Namun
demikian, persyaratannya untuk dapat memilih sendiri para pengurus di bawahnya
tidak terpenuhi. Pada hari terakhir Munas, daftar anggota Wahid sedang dibahas
persetujuannya oleh para pejabat tinggu NU termasuk Ketua PBNU sebelumnya, Idham Chalid. Wahid
sebelumnya telah memberikan sebuah daftar kepada Panitia Munas yang sedianya
akan diumumkan hari itu. Namun demikian, Panitia Munas, yang bertentangan
dengan Idham, mengumumkan sebuah daftar yang sama sekali berbeda kepada para
peserta Munas.
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto dan rezim Orde Baru. Penerimaan
Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya
disukai oleh pejabat pemerintahan. Pada tahun 1985, Suharto menjadikan Gus Dur
indoktrinator Pancasila Pada tahun 1987, Abdurrahman Wahid menunjukan dukungan
lebih lanjut terhadap rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum
legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar Suharto. Ia
kemudian menjadi anggota MPR mewakili Golkar. Meskipun ia disukai oleh rezim,
Wahid mengkritik pemerintah karena proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai
oleh Bank Dunia. Hal ini
merenggangkan hubungan Wahid dengan pemerintah, namun saat itu Suharto masih
mendapat dukungan politik dari NU.
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam
mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas
sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular. Pada
tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur
untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan
menyediakan interpretasi teks Muslim. Gus Dur pernah pula menghadapi kritik
bahwa ia mengharapkan mengubah salam Muslim "assalamualaikum" menjadi
salam sekular "selamat pagi".
Masa jabatan
kedua dan melawan Orde Baru
Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU
pada Musyawarah Nasional 1989. Pada saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam
pertempuran politik dengan ABRI, mulai menarik
simpati Muslim untuk mendapat dukungan mereka. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
dibentuk untuk menarik hati Muslim Intelektual. Organisasi ini didukung oleh
Soeharto, diketuai oleh Baharuddin Jusuf Habibie dan di
dalamnya terdapat intelektual Muslim seperti Amien Rais dan Nurcholish Madjid sebagai
anggota. Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Gus
Dur menolak karena ia mengira ICMI mendukung sektarianisme dan akan
membuat Soeharto tetap kuat. Pada tahun 1991, Wahid melawan ICMI dengan
membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari
berbagai komunitas religius dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh
pemerintah dan pemerintah menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum
Demokrasi saat menjelang pemilihan umum legislatif 1992.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah
Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU
terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit
satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan
polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta.
Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur
mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi
kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran. Selama masa
jabatan keduanya sebagai ketua NU, ide liberal Gus Dur mulai mengubah banyak
pendukungnya menjadi tidak setuju. Sebagai ketua, Gus Dur terus mendorong
dialog antar agama dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel pada Oktober
1994.
Masa jabatan
ketiga dan menuju reformasi
Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan
dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid
tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas, pendukung Soeharto, seperti
Habibie dan Harmoko berkampanye
melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan,
tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan
intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya.
Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga.
Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan
berencana tetap menekan rezim Soeharto. Wahid menasehati Megawati untuk
berhati-hati dan menolak dipilih sebagai Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998.
Megawati mengacuhkannya dan harus membayar mahal ketika pada Juli 1996 markas
PDInya diambil alih oleh pendukung Ketua PDI yang didukung pemerintah,
Soerjadi.
Melihat apa yang terjadi terhadap Megawati, Gus Dur
berpikir bahwa pilihan terbaiknya sekarang adalah mundur secara politik dengan
mendukung pemerintah. Pada November 1996, Wahid dan Soeharto bertemu pertama
kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU dan beberapa bulan
berikutnya diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh pemerintah yang pada
tahun 1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali Gus Dur. Pada saat yang sama,
Gus Dur membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi tetap terbuka dan pada
Desember 1996 bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI
yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Juli 1997 merupakan awal dari Krisis Finansial Asia. Soeharto
mulai kehilangan kendali atas situasi tersebut. Gus Dur didorong untuk
melakukan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun ia terkena stroke pada Januari
1998. Dari rumah sakit, Wahid melihat situasi terus memburuk dengan pemilihan
kembali Soeharto sebagai Presiden dan protes mahasiswa yang menyebabkan
terjadinya kerusuhan Mei 1998 setelah
penembakan enam mahasiswa di Universitas
Trisakti. Pada tanggal 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama dengan
delapan pemimpin penting dari komunitas Muslim, dipanggil ke kediaman Soeharto.
Soeharto memberikan konsep Komite Reformasi yang ia usulkan. Sembilan pemimpin
tersebut menolak untuk bergabung dengan Komite Reformasi. Gus Dur memiliki
pendirian yang lebih moderat dengan Soeharto dan meminta demonstran berhenti
untuk melihat apakah Soeharto akan menepati janjinya. Hal tersebut tidak
disukai Amien, yang merupakan oposisi Soeharto yang paling kritis pada saat
itu. Namun, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998.
Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.
Reformasi
Pembentukan PKB
dan Pernyataan Ciganjur
Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah pembentukan
partai politik baru. Di bawah rezim Soeharto, hanya terdapat tiga partai
politik: Golkar, PPP dan PDI. Dengan jatuhnya Soeharto, partai-partai politik
mulai terbentuk, dengan yang paling penting adalah Partai Amanat Nasional (PAN) bentukan
Amien dan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P)
bentukan Megawati. Pada Juni 1998, banyak orang dari komunitas NU meminta Gus
Dur membentuk partai politik baru. Ia tidak langsung mengimplementasikan ide
tersebut. Namun pada Juli 1998 Gus Dur mulai menanggapi ide tersebut karena
mendirikan partai politik merupakan satu-satunya cara untuk melawan Golkar
dalam pemilihan umum. Wahid menyetujui pembentukan PKB dan menjadi Ketua Dewan
Penasehat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai. Meskipun partai
tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut
terbuka untuk semua orang.
Pada November 1998, dalam pertemuan di Ciganjur, Gus Dur,
bersama dengan Megawati, Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X kembali
menyatakan komitmen mereka untuk reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB secara
resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.
Pemilu 1999 dan
Sidang Umum MPR
Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu
legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara.
Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan
presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh,
sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk
Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan
Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB
terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi
menyatakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pada 19 Oktober 1999, MPR
menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan
presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar
dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali
berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih
sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313
suara.
Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan
pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati
harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak
ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati,
Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober
1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.
Kepresidenan
1999
Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah
kabinet koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB,
Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada dalam
kabinet tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan.
Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim
Soeharto dalam menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen
Sosial yang korup.
Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara
anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu,
pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Cina
Setelah satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan
Nasional, Menteri Menteri Koordinator Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah
Haz mengumumkan pengunduran dirinya pada bulan November. Muncul dugaan bahwa
pengunduran dirinya diakibatkan karena Gus Dur menuduh beberapa anggota kabinet
melakukan korupsi selama ia masih berada di Amerika Serikat. Beberapa menduga
bahwa pengunduran diri Hamzah Haz diakibatkan karena ketidaksenangannya atas
pendekatan Gus Dur dengan Israel.
Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun
referendum ini menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Gus Dur juga
ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan mengurangi
jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Pada 30 Desember,
Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi
Irian Jaya. Selama kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan
pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
2000
Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar
negeri lainnya ke Swiss untuk
menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan
mengunjungi Arab
Saudi dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari,
Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam
perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Pada bulan
Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di bulan
April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam
perjalanan menuju Kuba untuk
menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan
Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir sebagai
tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.
Ketika Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia
mulai meminta Jendral Wiranto mengundurkan
diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Gus Dur
melihat Wiranto sebagai halangan terhadap rencana reformasi militer dan juga
karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur terhadap Wiranto.
Ketika Gus Dur kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara
dengannya dan berhasil meyakinkan Gus Dur agar tidak menggantikannya. Namun,
Gus Dur kemudian mengubah pikirannya dan memintanya mundur. Pada April 2000,
Gus Dur memecat Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri
Negara BUMN Laksamana Sukardi. Alasan yang
diberikan Wahid adalah bahwa keduanya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun
Gus Dur tidak pernah memberikan bukti yang kuat. Hal ini memperburuk hubungan
Gus Dur dengan Golkar dan PDI-P.
Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan
negosiasi dengan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM
hingga awal tahun 2001, saat kedua penandatangan akan melanggar persetujuan.
Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang
Marxisme-Leninisme dicabut.
Ia juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang
menyebabkan kemarahan pada kelompok Muslim Indonesia. Isu ini diangkat dalam
pidato Ribbhi Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, kepada parlemen
Palestina tahun 2000. Isu lain yang muncul adalah keanggotaan Gus Dur pada
Yayasan Shimon
Peres. Baik Gus Dur dan menteri luar negerinya Alwi Shihab menentang
penggambaran Presiden Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta agar Awad,
duta besar Palestina untuk Indonesia, diganti.
Dalam usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer
dari ruang sosial-politik, Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah, yang
diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada bulan
Maret. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma Putra,
yayasan yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI
mulai menekan Wahid untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan
tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur kembali
harus menurut pada tekanan.
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika
Laskar Jihad tiba di Maluku dan
dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu orang
Muslim dalam konflik dengan orang Kristen. Wahid meminta TNI menghentikan aksi
Laskar Jihad, namun mereka tetap berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai
oleh senjata TNI.
Muncul pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal
Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG)
melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit
pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk
mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya
terlibat dalam skandal ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate. Pada waktu
yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri.
Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun,
Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal
Bruneigate.
Sidang Umum MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus Dur
masih tinggi. Sekutu Wahid seperti Megawati, Akbar dan Amien masih mendukungnya
meskipun terjadi berbagai skandal dan pencopotan menteri. Pada Sidang Umum MPR,
pidato Gus Dur diterima oleh mayoritas anggota MPR. Selama pidato, Wahid
menyadari kelemahannya sebagai pemimpin dan menyatakan ia akan mewakilkan
sebagian tugas. Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar Megawati menerima tugas
tersebut. Pada awalnya MPR berencana menerapkan usulan ini sebagai TAP MPR,
akan tetapi Keputusan Presiden dianggap sudah cukup. Pada 23 Agustus, Gus Dur
mengumumkan kabinet baru meskipun Megawati ingin pengumuman ditunda. Megawati
menunjukan ketidaksenangannya dengan tidak hadir pada pengumuman kabinet.
Kabinet baru lebih kecil dan meliputi lebih banyak non-partisan. Tidak terdapat
anggota Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.
Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku
karena kondisi di sana semakin memburuk. Pada saat itu semakin jelas bahwa
Laskar Jihad didukung oleh anggota TNI dan juga kemungkinan didanai oleh Fuad
Bawazier, menteri keuangan terakhir Soeharto. Pada bulan yang sama, bendera
bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera bintang
kejora dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Indonesia. Ia dikritik oleh
Megawati dan Akbar karena hal ini. Pada 24 Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di Jakarta dan
delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.
Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang
kecewa dengan Abdurrahman Wahid. Orang yang paling menunjukan kekecewaannya
adalah Amien. Ia menyatakan kecewa mendukung Gus Dur sebagai presiden tahun
lalu. Amien juga berusaha mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan Megawati dan
Gus Dur untuk merenggangkan otot politik mereka. Megawati melindungi Gus Dur,
sementara Akbar menunggu pemilihan umum legislatif tahun 2004. Pada akhir
November, 151 anggota DPR menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus Dur.
2001 dan akhir kekuasaan
Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru
Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan
pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur lalu mengunjungi Afrika
Utara dan juga Arab Saudi untuk naik haji. Abdurrahman Wahid melakukan
kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada Juni 2001 ketika ia
mengunjungi Australia.
Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27
Januari 2001, Gus Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Ia lalu
mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi. Pertemuan tersebut
menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk mengeluarkan
nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang Khusus MPR
dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa walk out
dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes di antara NU. Di
Jawa Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar kantor regional Golkar. Di
Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya mendorong protes tersebut. Gus Dur
membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di Pasuruan.. Namun,
demonstran NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan
April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai
presiden hingga mati.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan
melawan disiden pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari
kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur. Menteri Kehutanan
Nurmahmudi Ismail juga dicopot
dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan
kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan, yang pada
saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal
ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam inaugurasi penggantian
menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya
Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.
Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator
Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk
menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya
dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet
pada tanggal 1 Juli 2001. Akhirnya pada
20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23
Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang
menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur
kemudian mengumumkan pemberlakuan dekret yang berisi
(1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan
mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkarsebagai bentuk
perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekret tersebut tidak memperoleh
dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan
menggantikannya dengan Megawati
Sukarnoputri. Abdurrahman Wahid terus bersikeras bahwa ia adalah
presiden dan tetap tinggal di Istana Negara selama beberapa hari, namun
akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi ke Amerika Serikat karena masalah
kesehatan.
Aktivitas
setelah kepresidenan
Perpecahan pada
tubuh PKB
Sebelum Sidang Khusus MPR, anggota PKB setuju untuk tidak
hadir sebagai lambang solidaritas. Namun, Matori Abdul Djalil, ketua PKB,
bersikeras hadir karena ia adalah Wakil Ketua MPR. Dengan posisinya sebagai
Ketua Dewan Syuro, Gus Dur menjatuhkan posisi Matori sebagai Ketua PKB pada
tanggal 15 Agustus 2001 dan melarangnya ikut serta dalam aktivitas partai
sebelum mencabut keanggotaan Matori pada bulan November. Pada tanggal 14
Januari 2002, Matori mengadakan Munas Khusus yang dihadiri oleh pendukungnya di
PKB. Munas tersebut memilihnya kembali sebagai ketua PKB. Gus Dur membalasnya
dengan mengadakan Munasnya sendiri pada tanggal 17 Januari, sehari setelah
Munas Matori selesai Musyawarah
Nasional memilih kembali Gus Dur sebagai Ketua Dewan Penasehat dan Alwi Shihab sebagai Ketua
PKB. PKB Gus Dur lebih dikenal sebagai PKB Kuningan sementara PKB Matori
dikenal sebagai PKB Batutulis.
Pemilihan umum
2004
Pada April 2004, PKB berpartisipasi dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,
dan DPRD Indonesia 2004, memperoleh 10.6% suara. Untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden Indonesia 2004, dimana rakyat akan memilih secara
langsung, PKB memilih Wahid sebagai calon presiden. Namun, Gus Dur gagal
melewati pemeriksaan medis sehingga Komisi Pemilihan Umum menolak
memasukannya sebagai kandidat. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan
pasangan dari Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu.
Untuk pemilihan kedua antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi,
Gus Dur menyatakan golput.
Oposisi
terhadap pemerintahan SBY
Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin
koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati,
koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,
terutama mengenai pencabutan subsidi BBM yang akan menyebabkan naiknya harga
BBM.
Kehidupan pribadi
Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai
empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita
Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Yenny juga
aktif berpolitik di Partai Kebangkitan Bangsa dan saat ini
adalah direktur The Wahid Institute.
Kematian
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai
menjabat sebagai presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga
seringkali surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan
atau dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan stroke. Diabetes dan gangguan ginjal juga
dideritanya. Ia meninggal dunia pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul
18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut, yang dideritanya sejak
lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah)
rutin. Menurut Salahuddin
Wahid adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada arteri. Seminggu
sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai
mengadakan perjalanan di Jawa Timur.
Penghargaan
Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah
penghargaan yang cukup prestisius untuk kategori Community Leadership.
Wahid dinobatkan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh
beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng
Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004.
Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiesenthal Center,
sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid
mendapat penghargaan tersebut karena menurut mereka ia merupakan salah satu
tokoh yang peduli terhadap persoalan HAM. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal
Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki
keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di Indonesia
dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru Wahid juga
memperoleh penghargaan dari Universitas
Temple. Namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman
Wahid Chair of Islamic Study. Pada 21 Juli 2010, meskipun telah meninggal,
ia memperoleh Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010
Penghargaan ini diserahkan langsung kepada Sinta Nuriyah, istri Gus Dur.
Tasrif
Award-AJI
Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur
mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai
Pejuang Kebebasan Pers 2006. Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur
dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan
kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di
Indonesia. Gus Dur dan Gadis dipilih oleh dewan juri yang terdiri dari
budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin
redaksi The
Jakarta Post Endy Bayuni, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka berhasil menyisihkan 23
kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus Dur menuai protes dari para
wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu. Seorang wartawan mengatakan
bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi,
ia menerima penghargaan tersebut. Sementara wartawan lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan
wartawan The
Jakarta Post membantah dan mempertanyakan hubungan perjuangan Wahid
menentang RUU APP dengan kebebasan pers.
Doktor
kehormatan
Gus Dur juga banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris
Causa) dari berbagai lembaga pendidikan:
- Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000) Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)
- Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)
- Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar